School of Journalism & Multimedia atau
Sekolah Jurnalistik & Multimedia (SJM) merupakan lembaga pendidikan kompetensi yang akan diremikan oleh Direktur PSLB Kementerian Pendidikan Nasional pada 15 Februari 2010. Bidang studi kompetensi SJM merupakan penggabungan ilmu jurnalistik dan multimedia setingkat sekolah yang pertama di Indonesia. SJM ini dirancang untuk mempersiapkan siswa –bisa praktek di bidang multi disiplin kompetensi– untuk menjadi seorang profesional yang dapat bersaing di lingkungan globalisasi. Hal ini seiring untuk menunjang program pemerintah dalam menggalakkan industri ekonomi kreatif.
Orientasi pembelajaran
life skills yang SJM kembangkan dengan mengkondisikan proses belajar aktif hingga peserta didik atau komunitas memiliki
‘knowledge’ dan
‘skills’ (pengetahuan dan ketrampilan) tertentu serta potensi bagi pengembangan ‘skills’ lebih lanjut.
Program bidang kompetensi ini diselenggarakan tidak hanya bagi orang umum, tapi juga Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seperti anak-anak putus sekolah dan anak penyandang ketunaan, selain juga menampung bakat dan minat dari siswa lulusan baru SMA sederajat, bahkan lulusan ahli madya hingga lulusan sarjana yang ingin memperdalam kompetensi di bidang jurnalistik dan multimedia.
Bidang kompetensi yang saat ini SJM selenggarakan diantaranya jurnalistik, fotografi, videografi, video editor, web development, dan marketing-periklanan sebagai bagian dari aplikasikan kompetensinya sub bidang industri kreatif. Pendirian sekolah dengan multi kompetensi di bidang jurnalistik dan multimedia ini yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia.
Dalam tren media informasi saat ini sudah mengarah ke media yang komprehensif. Artinya selain informasi itu mesti cepat dan akurat, media penyampainya juga diperkaya oleh unsur-unsur pendukung. Hal ini agar informasi dalam suatu media itu cukup lengkap seperti foto, video, animasi, sentuhan imaging digital dan lain sebagainya.
Dasarnya SJM berdiri pertama kali ini adalah mengacu kepada Industri Kreatif. Evolusi industri kreatif ini muncul dari pergeseran era pertanian ke era industrialisasi, disusul oleh era informasi disertai banyak penemuan baru di bidang teknologi informasi serta globalisasi ekonomi.
Ada 14 industri yang diidentifikasi sebagai industri kreatif: (1) arsitektur, (2) desain, (3) kerajinan, (4) layanan komputer dan peranti lunak, (5) mode, (6) musik, (7) pasar seni dan barang antik, (8) penerbitan dan percetakan, (9) periklanan, (10) permainan interaktif, (11) riset dan pengembangan, (12) seni pertunjukan, (13) televisi dan radio, serta (14) video, film, dan fotografi.
Dari 14 bidang industri berbasis kreatifitas, SJM mencoba menjadi salah satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan berkompetensi. Selain itu untuk membantu minat dan mengapresiasikan calon-calon peserta didik di multi disiplin kompetensi bidang jurnalistik & multimedia.
Sementara itu, Studi Industri Kreatif Indonesia 2007 oleh Departemen Perdagangan menyebutkan ke-14 industri kreatif Indonesia menyumbang rata-rata Rp104,638 triliun pada 2002-2006 untuk Produk Domestik Bruto (PDB), lebih besar daripada kontribusi sektor pengangkutan, bangunan, serta listrik, gas, dan air bersih.
Pada periode yang sama, menyerap 5,4 juta tenaga kerja dengan produktivitas Rp19,5 juta per pekerja per tahun, dibandingkan dengan produktivitas nasional yang rata-rata Rp18 juta.
Rata-rata jumlah tenaga kerja yang diserap oleh 14 industri kreatif periode 2002-2006 relatif besar yaitu mencapai 5,4 juta pekerja, atau 5,79% dari total tenaga kerja di Indonesia. Ini data resmi dari Departemen Perdagangan, sementara data non formal jumlah yang terserap bisa mencapai 20-30 persen, karena mereka menyebar tanpa ikatan dengan pihak institusi/ perusahaan, atau biasa disebut pekerja kreatif/ freelance.
Hal itu karena, seorang yang menekuni bidang ini jarang mencari kerjaan. Dan biasanya mereka menciptakan pekerjaan, bahkan karyanya dicari orang untuk menjalin kerja sama atau bekerja pada orang tersebut.
Fondasi utamanya adalah diri seorang pekerja kreatif dapat dipercaya dan menghasilkan karya yang disukai oleh pihak lain. Dan kita tahu di DKI Jakarta ini dan di kota-kota besar lainnya tidak ada sumber daya alam yang bisa diunggulkan, sehingga SDM-lah yang menjadi “ujung tombak penghasil produksi”.
Oleh karena itu, pengajaran pada SJM, baik jurnalistik maupun multimedia akan selalu berkesinambungan. Materi-materi multimedia yang dipelajari merupakan konsep dan metode praktis. Hal ini untuk menjawab kebutuhan tren terkini. Sehingga setiap peserta akan selalu mengetahui dan dapat mengaplikasikan teknologi maupun perangkat lunak yang sedang tren.
Hal ini menjadi sasaran lulusan kami, karena berdasarkan pengamatan, masih banyak personal, lembaga maupun perusahaan yang kurang memanfaatkan media cyber (website, blog, email, milis, facebook, twiter, dll) sebagai media informasi publik.
Celakanya, walaupun aktual dan selalu menayangkan info terkini, tapi masih banyak dari media cyber mereka yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah menulis, etika menulis, serta estetika menulis. Bahkan isinya tidak menjadi menarik dan tidak menjadi penting seperti berisi keluh-kesah atau point-point yang tidak dimengerti pembaca.
Di Indonesia jurnalistik menjadi bagian dari ilmu komunikasi. Sehingga secara formal tidak ada universitas di Indonesia yang melahirkan “Sarjana Jurnalistik”. karena yang dicetak adalah Sarjana Komunikasi bukan Sarjana Jurnalistik.
Namun secara informal Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), yang cikal-bakalnya didirikan oleh Dewan Pers, pernah memiliki program pasca-sarjana jurnalistik (non-gelar). Menurut Sekretaris Eksekutif Dewan Pers Lukas Luwarso, program pendidikan selama setahun itu dimaksudkan untuk menyiapkan lulusan universitas untuk menjadi “Master” dalam jurnalisme. Namun program ini telah lama berhenti karena ketiadaan dukungan dana. Menjadi jurnalis di Indonesia umumnya melalui proses “trial and error” atau “learning by doing”.
Pada beberapa negara telah memiliki departemen atau fakultas jurnalistik tersendiri. Sebut saja Virginia Commonwealth University di Amerika Serikat, mereka memberikan gelar MS
(Master of Science dalam Mass Communication) bagi lulusan pasca sarjana konsentrasi studi multimedia jurnalisme dengan Kelas akan bertemu intensif selama 46 hari, pada setiap Jumat malam dan Sabtu selama 15 bulan. Bahkan kampus ini setiap tahun, lebih dari 270 juta dolas AS beasiswa dinyalurkan kepada lebih dari 18.000 siswa yang diperoleh dari subsidi silang dan founding/ donatur lembaga besar.
Di wilayah lain Amerika sudah didirikan School of Journalism di Universitas Minnesota. Pada awalnya berasal dari kursus atau mata kuliah pelatihan menulis tahun 1915. Dari satu mata kuliah kemudian berkembang menjadi jurusan program jurnalisme sebagai bagian dari Fakultas Ilmu, Sastra, dan Seni. Hingga akhirnya sepenuhnya menjadi Fakultas (Departemen) Jurnalisme pada tahun 1922, dan pada 1929 telah membuka program master untuk jurnalisme.
Indonesia sudah memiliki Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dikelola oleh Yayasan Media Informasi Kompas Gramedia dengan Prof Yohanes Surya sebagai rektornya. Kampus yang berlokasi di Summarecon Serpong ini diluncurkan dan diperkenalkan ke publik pada tanggal 26 November 2006. Sejak resmi beroperasi 3 September 2007, yang ditandai dengan kuliah perdana menghadirkan Menteri Komunikasi dan Informasi Prof. Dr. Ir. Mohamad Nuh saat itu.
UMN merupakan sebuah lembaga perguruan tinggi dengan teknologi informasi dan komunikasi sebagai dasar dalam setiap proses belajar mengajar di tiap mata kuliah yang diselenggarakannya. Fasilitas yang lengkap dengan misi pendidikannya adalah mampu menghasilkan lulusan berkompetensi tinggi dan berjiwa wirausaha berbasis teknologi (technopreneurship).
Sementara calon mahasiswa yang ingin menimba ilmu pada 10 jurusan UMN (termasuk jurusan multimedia journalism) mesti merogoh kocek yang cukup dalam. Uang pangkalnya antara Rp 19.5 jt – Rp 25 jt, uang semester mencapai Rp 7.25 jt (semester 1) Rp 2.75 jt untuk selanjutnya, dan biaya per SKS sebesar Rp 225.000. Kenapa begitu mahal? Karena memang bidang multimedia ilmu yang cukup susah, insfrastruktur dan fasilitas belajarnya mesti lengkap ditambah dengan par pengajar yang profesional dibidangnya. Itulah alasan mahal biaya pendidikannya.
Bagaimana dengan SJM? Memang harapan ke depan, SJM dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi jurusan ilmu komunikasi, publisistik, jurnalistik, sastra, seni, desain komunikasi visual serta multi disiplin ilmu lainnya di negeri ini yang sudah kuat dibidang-bidang tersebut namun belum memperoleh “multimedia jurnalisme” secara intensif. Dan dapat memberikan beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti penyandang ketunaan dan anak-anak putus sekolah yang tidak mengenal diskriminasi atas dasar ras, gender, etnis, seksual, dan agama untuk dididik pada SJM melalui dukungan semua pihak, Insya Allah.
Saat ini SJM sedang merintis beberapa bidang kompetensi diantaranya adalah jurnalistik, desain grafis, fotografi, video syuting, video editor, web development, marketing & periklanan, dan public relations. Insya Allah, lulusan SJM menjadi SDM yang profesional bisa bekerja di media massa/koran, televisi nasional/lokal, radio, percetakan, penerbitan, novelis, penulis, kolumnis, editor, wartawan, script writer, perancang media, web master, kameramen, humas, marketing, operator televisi serta produser.
Akhir kata, kami mohon doa restu, semoga SJM dapat meningkatan nilai tambah terhadap hasil eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu yang menjadi produk industri kreatif. Dan semoga SJM dapat memberikan kontribusi berarti pada pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia.[\]
Keterangan Foto:
Direktur PSLB Kementerian Pendidikan Nasional Ekodjatmiko Sukarso, menandatangani prastasti sebagai tanda diresmikannya Sekolah Jurnalistik dan Multimedia atau School of Journalism and Multimedia (SJM) yang disaksikan oleh dari pihak Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta (berbaju hijau), pendiri SJM Rahmintama (batik coklat) dan Ketua Asosiasi Ketrampilan Khusus Givi Efgivia.